Sebelum saya ‘masuk’ di Jakarta, saya sempat bertukar cerita dengan salah satu teman. Waktu itu saya masih tinggal di Kupang. Dia bilang di Jakarta, bis tidak akan berhenti untuk kamu, dan untuk turun dari bis pun, sudah ada aturannya: kaki kiri duluan. Biar nggak kepleset! Wah… bagi saya itu aneh sekali. Di Kupang, memang tidak ada bis, hanya ada angkot. Namun penumpang di-servis abis-abisan. Mulai dari lampu disko, musik top 40, hingga interior dan eksterior design angkot dibuat semenarik mungkin untuk kenyamanan penumpang.
Ketika saya ke Jakarta untuk kuliah & kerja, saya mulai merasakan angkutan publik di Jakarta. Saya langsung ingin mencoba bajaj yang unik. Lumayan juga badan bergoyang-goyang sepanjang waktu, dan kalau di lampu merah, pengamennya dapat dengan mudah mengakses penumpang karena bajaj nggak ada jendelanya. Alhasil, uang receh pun harus selalu siap sedia. Alhamdulillah selama ini skill mengemudi tukang bajaj yang gue naiki selalu baik. Ada juga sih bajaj yang ngetril banget pas belokan sampe-sampe bajajnya keguling dengan sukses di jalanan. Emang lukanya nggak bakal serius, tapi lecet-lecet karena kecelakaan bajaj itu benar-benar nggak keren untuk diceritakan ๐
Dengan angkot kecil biasa, basically customer service oriented mereka masih bagus. Kalau kita stop pasti berhenti. Cuma kadang-kadang kalau nggak terlalu ngebut, terlalu pelan, karena nyari penumpang. Tapi pengalaman kemarin lumayan menyenangkan sih. Gue duduk di depan, samping pak sopir, dan pada saat mau belok ke arah rumah gue, ada Polisi yang menutup jalan dan menyuruh kita jalan di luar trayek. Langsung aja sopirnya marah-marah (gue simpulkan dari logatnya orang Batak :D). Dan tentu saja gue ikutan marah. Sebel karena ada possibility telat sampai rumah. Trus gue nunjukin jalan tikus ke abang sopir itu yang nembusnya kembali ke lajur trayek. Abangnya jadi respek sama gue, dikira ketua geng situ kali ya. Saking enjoy-nya gue jadi kernet, hampir-hampir gue ikut ngelurusin duit seribuan yang ada di dashboard hahaha.
Pengalaman gue dengan Kopaja/Mini Arta or whatever you call that medium bus, nggak begitu bagus. Selain karena mereka tidak pernah benar-benar berhenti, beberapa oknum sering sekali menurunkan penumpang di tengah jalan karena mereka malas menyelesaikan trayek. Herannya, kalau diomelin malah ngomel balik… malah galakan die… repot kan?! Selain itu di Mini Arta juga banyak copetnya. Gue pernah dikasih duduk sama bapak-bapak di Mini Arta, and I thought “How nice….!” dan 3 detik kemudian dia bersama 5 temennya mepetin seorang mbak-mbak yang mau turun. Dia ternyata anggota komplotanย copet! Ckckck itu jam 8 pagi loh… orang rame sekali, mereka seperti nggak takut! Kapok deh naik Kopaja/Mini Arta. Kecuali naiknya sama suami gue… itung-itung pacaran murah meriah!
Bis Patas adalah sarana transportasi yang cukup gue senangi. Waktu tinggal di Depok, ke kantor bisa memakan waktu 1 – 2 jam karena kemacetan yang terjadi di Pasar Minggu (belum ada underpass). Akhirnya tiap naik bis, langsung pasang radio, and tidur. Nikmat bener. Bayarnya juga bisa nawar ama kernet karena jalan cuma setengah trayek hehehe. Kesulitan terbesarnya adalah pada saat nggak dapet tempat duduk. Bayangkan semua orang berbondong-bondong berangkat kerja di pagi hari. Berdiri ampe 2 jam pernah gue alami. Atau dapet tempat duduk tapi di tengah. Akhirnya pas mau berhenti repot karena kernet/sopir nggak denger teriakan gue, sedangkan gue sukses terjepit di antara orang-orang. Tips-nya adalah mulai berdiri dari tempat duduk 15 menit sebelum tiba. Itu juga harus keluar dengan susah payah! Satu pengalaman buruk gue dengan Bis Patas adalah pas gue ketemu eksebisionis. Lagi asik-asik baca majalah, tiba-tiba ada yang menyembul dari balik celana seorang bapak-bapak yang berdiri di depan gue. SIALAN! Nggak perawan lagi deh mata gue hahaha. Sayangnya gue terlampau Jawa untuk berdiri dan memaki-maki dia di depan umum. Let it be. Masih untung dia nggak nyolek gue. Akhirnya gue lanjutkan membaca hingga sampai di tujuan :p
Hal yang paling gue suka dari kereta adalah kecepatannya. Di traffic Jakarta yang tak terduga, sangat menyenangkan sekali bisa sampai ke satu tempat dalam waktu setengah jam saja. Harganya pun relatif lebih murah dari Bis Patas. Namun sayangnya, banyak orang berpikiran sama dengan gue. Dan kita semua memenuhi that poor trains sampe meleber ke atap kereta segala. Saking penuhnya kereta, gue pernah berdiri jinjit (karena 2 kaki nggak cukup lagi berpijak) dan melepaskan pegangan (look ma, no hands!) tanpa terjatuh sama sekali. Ajaib ๐ “Lu enak, tinggi! Nah gue?? Sesak napas tau!” Sahut salah satu teman. Gue ketawa ngakak. Memang, kereta di sore hari, telah menciptakan aroma-aroma memabukkan dari sepasang ketek manusia. Bagi saya, lumayan bisa cari oksigen di atas kepala para penumpang. Untuk teman saya yang tingginya persis berhenti di bawah ketek, ini benar-benar mimpi buruk :D~
Membicarakan traffic Jakarta berarti harus membicarakan ojek. So far, ojek sangat besar jasanya untuk nganterin gue kesana kemari dengan leluasa (terutama meeting pagi yang harus on time). Itu karena badannya bisa nyempil di antara kemacetan. Gue punya database tukang ojek sendiri yang telah gue seleksi terlebih dahulu. Syaratnya harus masih muda, rapi, sopan dan baik. Jadi kalo perlu urgent, gue selalu punya tenaga ojek yang siap sedia ๐ Pada saat naik ojek, badan gue punya nature way sendiri untuk menyeimbangkan diri dan gue duduk dengan percaya diri. Saat akan menyalip, I know what to do. Saat tempat yang akan dilewati terlalu mepet, I know what to do. So, I think I’m getting along really well with Ojek ๐
Taksi. Tanyakan, “Udah lama Pak di Jakarta?” dan kamu akan mendapatkan cerita riwayat hidup sopir taksi yang serunya bisa kayak skrip sinetron. Tak terasa, kamu sudah sampai di tempat tujuan ๐ Untuk keamanan tetap pake Blue Bird, untuk menghemat bisa pake Express taxi. Dan karna gue memang sering naik taksi, maka gue juga jadi seneng ngereview taksi seperti TransCab (dengan TV kabel), Silver Bird (All New Mercy) dan Tiara Express (yang pake Alphard). Taksi sekarang harganya nggak reasonable, tapi untuk kenyamanan, masih menjadi transportasi umum pilihan utama di Jakarta.
Last but not least, Trans Jakarta. My love and hate relationship with Busway dimulai saat gue kost di daerah Gajah Mada. Saat itu masih rute Kota – Blok M saja. Awalnya masih asyik. Bebas hambatan dan bisa guling-gulingan di dalam bis. Setelah rute-rute baru di buka, penumpang memadati Busway. Dan karena pengelola tidak siap menerima lonjakan penumpang, jadilah gue dan puluhan penumpang lain tergenjet minimal setengah jam di halte Busway, hanya untuk masuk dan kembali tergencet di dalam Busway. Yang mengerikan, di halte tidak ada AC atau angin yang memadai. Jadi buat yang hamil sangat tidak recommended untuk berada di sini. Sejak Busway jadi penuh banget, gue mulai males naiknya. Dan sampe sekarang belum pernah naik busway lagi.
Satu yang belum ada di Jakarta dan gue sangat ingin mencoba: MRT. Kapan ya? Semoga bukan sekedar mimpi :p
Leave a Reply