Indonesia adalah surga untuk perokok. Praktisnya, dimana saja kita bisa berdiri untuk merokok. Pada remaja (dan jumlah wanita semakin banyak), rokok pun dianggap cool. Karena jadi simbol ‘pergaulan’. Habis makan, enaknya pasti merokok, kan? Lebih cool kan? Paling tidak itu yang sering mereka lihat di tempat-tempat makan atau hang out. Bagi pekerja dikenal istilah social smoker. Hanya merokok jika sedang berkumpul dengan teman-temannya yang merokok. Bagaimana jika ngumpulnya sering? Akhirnya rokoknya jadi keterusan. Rokok juga kadung dianggap sebagai ‘obat’ bagi mereka yang stress, bahkan kebutuhan wajib bagi golongan pekerja menengah ke bawah yang butuh tenaga untuk menjalankan aktivitas. Nggak merokok rasanya ada yang aneh, mulut terasa asem, dan banyak alasan lainnya. Mereka sudah kecanduan.
Efek kecanduan rokok itu sepertinya disepelekan banyak orang. Bagi kita yang ‘mampu’, itu menjadi urusan individu masing-masing. “Duit-duit gue, badan-badan gue,” mungkin gitu tanggapannya. Tapi bagaimana yang secara ekonomi lemah? Makan saja susah, tapi setiap punya uang memilih untuk membeli rokok terlebih dahulu. Pengeluaran rokok keluarga miskin itu no 2 setelah membeli beras. Apa kabar dengan makanan bergizi untuk anak, biaya sekolah dan kesehatan? Lewat! Trus gimana generasi Indonesia ke depan bisa tambah maju kalau makan asep terus?
FYI, Indonesia adalah negara ke-3 dengan jumlah perokok terbesar di dunia, atau menyumbang hampir separuh jumlah perokok negara ASEAN. Dari jumlah itu 72% kepala keluarga miskin sudah ketagihan rokok! Dari riset ke 360.000 keluarga miskin di Indonesia, kepala keluarga yang merokok berkontribusi pada malnutrisi dan kematian balita.
(image source: http://www.sonofthesouth.net)
Pemerintah perlu berkontribusi untuk memberi solusi pada masalah pelik ini yaitu dengan MENGATUR produksi dan mengendalikan konsumsi rokok untuk melindungi kesehatan masyarakat Indonesia dan mencegah bertambahnya jerat kemiskinan. Namun sayangnya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) tidak ditandatangani dan kesempatan mengaksesi (ratifikasi langsung tanpa proses tanda tangan setelah jatuh tempo) juga tidak dilakukan. Tampaknya pemerintah belum sadar juga, ignorance mereka akan berbuah pahit bagi generasi muda di Indonesia di masa depan.
Ada 3 hal yang diharapkan bisa mulai dilakukan pemerintah:
- Aksesi FCTC
- Menuntaskan RUU Pengendalian Dampak Tembakau di DPR
- Mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Tembakau sebagai zat adiktif (mandat UU Kesehatan no 36/2009)
Kalau di luar negri bisa bikin petisi. Di sini gimana caranya ya? Yang jelas kita bisa menyuarakan hal ini ke pemerintah. Karena pengaturan pengendalian tembakau itu mungkin banget dilakukan.
Yuk peduli!
Please follow akun @BatasiTembakau thank you Nelly untuk infonya 🙂
Note: I write this post untuk mendukung concern-nya my auntie, Kardinah Soepardjo Roestam. Semua data yang saya tulis ini berasal dari beliau.
Leave a Reply