Saya berdiri dengan senyum puas di depan loket bioskop. Barisan kursi di studio 2, tempat film Ayat-ayat Cinta (AAC) diputar, pun masih banyak yang belum terisi. Akhirnya, setelah 4 kali mencoba dan GAGAL (karena kehabisan tiket terus!), akhirnya saya berhasil nonton film super laris ini juga. Saya nggak sendiri, saya datang bersama kedua orang tua yang telah 30 tahun lamanya nggak ke bioskop. Hebat banget deh AAC ini. Benar-benar menarik market baru datang ke bioskop. Bahkan seorang ibu-ibu tua dengan jilbab dan gamisnya pun rela datang sendiri buat nonton AAC. Presiden dan wakilnya juga nonton!! Gila. Pasti ada yang ‘lain’ dari film ini.
Sebelum menonton, saya sudah baca buku Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy ini sejak lama, dan sangat menyukainya. Tentu saya sudah punya ekspektasi tertentu terhadap film ini.
Saya tahu sangat sulit menterjemahkan buku ke film dan begitu juga sebaliknya (been there done that), makanya saya sangat menghargai ‘pekerjaan’ Hanung, sang sutradara, pada film ini.
Kesan saya pertama kali tentang film ini adalah lama banget durasinya. Karena ada batas seseorang tahan untuk duduk di bioskop. Dan batas ketahanan saya adalah 1 jam 45 menit hehehe.
Di film ini juga banyak tumpahan air mata, yang ternyata belum dapat mengusik jiwa preman saya. Satu-satunya adegan yang mampu membuat mata saya berkaca-kaca adalah melihat kesedihan Aisha melihat suaminya menikah lagi dengan Maria. Jadi ingat Teh Ninih (halah hehe).
Meskipun secara setting agak sulit merasakan Mesir-nya (karena emang nggak di Mesir hehe), tapi secara umum menurut saya novel AAC telah berhasil diadaptasi ke layar lebar dengan mulus. Dan my favorite would be Fedi Nuril yang bermain sebagai Fahri.
Kalau masih pada bisa buka YouTube, silahkan lihat Trailer Ayat-Ayat Cinta di sini 🙂
Leave a Reply